Pagi ini aku sudah nyampe di "Kali Garing" (;sungai kering), bersama Slamet, Mandra , Ponidi dan bu Lina. .Tuh, lho..., bu guru yang cantik, yang sempat jadi guru aku kala ngikutin kejar paket di Balai Desa. Seneng, dhah sekali-kali pergi mancing ma wanita cantik. Aku sendiri heran, kenapa, ya, bu Lina yang cantik (guru, lagi!) mau keroyo-royo (bersusah-susah, Pon! Dasar, goblogh! Masa keroyo-royo saja nggak ngerti. Katanya asli jowo, masa bahasa gituan saja nggak dhong! O.. dasar Ponidi!) ikutan mancing di "kali garing", yang klo ke sana mesthi menempuh jarak 2 km dan harus jalan kaki. Itupun mesti melewati banyak "galengan" (;pematang) sawah puanjaaaaaang banget. Kali garing sebenarnya bukanlah sungai yang benar-benar kering tanpa air sama sekali. Sungai itu memang di kenal sejak dulu kala dengan nama "Kali Garing"dan meskipun namannya seperti itu, tapi ikannya luar biasa banyaknya. Matahari masih hangat-hangat tahi kerbau karena jam masih nangkring di pinggir kali ...eh ..., maksudku di angka 7. Yang sering nangkring di di pinggir kali khan si Mandra. Habis dia nggak punya WC, sih.
Melihat bu Lina pakai "caping" (;topi dari anyaman bambu) dengan kaos warna hijau berjalan terseok-seok, goyang kanan-kiri jaga keseimbangan, kepalaku jadi pusing. Yang kulihat justru tarian indah dengan "bokong" (;pantat) yang bergoyang laksana "goyang India". Kepalaku sendiri yang jadi pusing sehingga hampir tercebur di sawah. Setelah mempersiapkan semua peralatan dan mencari cacing untuk "umpan", kami berempat duduk di satu batu yang besar di tengah sungai. O, ya..., waktu menyeberangi sungai kearah batu besar itu, rok bu Lina dinaikkan diatas lutut. Aduh..., kepalaku tambah senut-senut. Putiiiiii....iiihhh, sekali, seperti kaki sapi yang di cuci pakai deterjen dicampur abu gosok. Untung saja Slamet , Mandra dan Ponidi berada di depan, jadi cuma aku sendiri yang melihat. "Eman-eman", ya klo kelihatan sama mereka. Aku jadi nggak bisa pamer (;cerita) kalau mereka sempat melihatnya.
Heran aku, biasanya setiap kali mancing, paling tidak setiap lima menit setidak-tidaknya satu ekor bisa nyantol di pancing ku, tapi hari itu hampir satu jam baru dua ekor yang kudapat. Aku terhenyak kaget ketika jari bu Lina yang "luentik" menyentuh pahaku yang hitam legam seperti "pantat wajan", sambil berucap "luembut", "ngalamun, ya, mas, Yot?". "Byur....", pancingku tercebur ke sungai. Sumpah, aku kaget se kaget-kagetnya. Pikiranku lagi mbelayang nggak karuan dan tiba-tiba bu Lina sudah duduk dekat sekali di samping ku. O..wa...lah...harumnya. Kakinya selonjor di sisi kaki ku. Terlihat seperti bendera, tapi yang satunya bukan merah tapi hitam. Tersipu aku menjawab, " Iya, bu, Lin". "Ngelamunin apaan, sih, mas Yot?", sambil matanya di arahkan ke wajahku. Aku bingung sambil berdoa. "Tabah, Yot! Tabahkan hati mu!". Terus terang aku jadi bingung sendiri dan salah tingkah nggak karuan. Baru kali ini aku begitu dekat dengan wanita secantik bu Lina. Aku sendiri bersyukur nggak ada produser sinetron yang melihatnya. O... kalau ada ditanggung dia pensiun muda dari profesi gurunya.
" Ah, saya lagi berpikir tentang berita di TV belakangan ini, bu Lin".
" Berita tentang apa, sih, mas Yot", dia mendesak ku.
" Berita tentang 2 orang wakil ketua KPK yang ditangkap polisi itu, bu Lin. Pak Slamet ma pak Candra". Ayo kita berteduh dulu, di sana. Ada pohon pisang, tuh", aku mengajaknya beristirahat.
Kami berdua berteduh dan ngomongin banyak hal, terutama menyangkut penangkapan 2 orang wakil ketua KPK tadi. Dalam hati aku sungguh-sungguh heran dengan semua yang terjadi dengan bangsaku tercinta ini. Kenapa, ya, mereka yang seharusnya jadi panutan justru nggak ada bedanya dengan anak-anak kecil yang suka berkelahi sendiri. Bagaimana korupsi bisa habis kalau sementara (menurut berita-berita TV), dua-duanya yang seharusnya punya tugas "menggantung para koruptor" akhirnya justru saling berkelahi karena masing-masing saling berebut gelar "pahlawan suci"yang tidak doyan korupsi. Atau mungkin bangsa ini memang sudah tercetak sebagai sebuah bangsa dengan "mental wedhus" yang dengan penuh sukacita dan kebanggaan saling mengadu kepalanya sendiri untuk memenangkan pertarungan. "Wedhus Dhugul" bapak ku menyebutnya. Kambing yang sangat "tolol" dan cuma bisa makan kemudian menghabiskan semua sisa eneginya yang "membeludak" hanya untuk bertarung supaya temanya mati berkalang rumput. Ya.. Setelah temanya mati dia sendirilah yang akan menghabiskan semua rumput yang ada. Rumput basah atau rumput kering tidak ada bedanya. Yang penting rumput! Enak dimakan, membuat perut kenyang. . O...bangsaku yang menyedihkan. Bangsa yang perlu "di apotas atau di themix" saja sekalian biar tumbuh rumput-rumput muda yang baru, segar dan bersih hatinya. Hanya rumput baru seperti itulah yang akan mengenyahkan bangsa ini keluar dari kebinasaan yang pelan-pelan merenggut. Aku tak bisa berpikir lagi. Dipikirpun tak ada gunanya. Ya mendingan mikir sawah atau mikir cari duit buat mengganti "pacul gerang" yang masih jadi andalanku untuk menyambung hidup.
Update » Jemuah KLIWON, January, 27, 2012
Melihat bu Lina pakai "caping" (;topi dari anyaman bambu) dengan kaos warna hijau berjalan terseok-seok, goyang kanan-kiri jaga keseimbangan, kepalaku jadi pusing. Yang kulihat justru tarian indah dengan "bokong" (;pantat) yang bergoyang laksana "goyang India". Kepalaku sendiri yang jadi pusing sehingga hampir tercebur di sawah. Setelah mempersiapkan semua peralatan dan mencari cacing untuk "umpan", kami berempat duduk di satu batu yang besar di tengah sungai. O, ya..., waktu menyeberangi sungai kearah batu besar itu, rok bu Lina dinaikkan diatas lutut. Aduh..., kepalaku tambah senut-senut. Putiiiiii....iiihhh, sekali, seperti kaki sapi yang di cuci pakai deterjen dicampur abu gosok. Untung saja Slamet , Mandra dan Ponidi berada di depan, jadi cuma aku sendiri yang melihat. "Eman-eman", ya klo kelihatan sama mereka. Aku jadi nggak bisa pamer (;cerita) kalau mereka sempat melihatnya.
Heran aku, biasanya setiap kali mancing, paling tidak setiap lima menit setidak-tidaknya satu ekor bisa nyantol di pancing ku, tapi hari itu hampir satu jam baru dua ekor yang kudapat. Aku terhenyak kaget ketika jari bu Lina yang "luentik" menyentuh pahaku yang hitam legam seperti "pantat wajan", sambil berucap "luembut", "ngalamun, ya, mas, Yot?". "Byur....", pancingku tercebur ke sungai. Sumpah, aku kaget se kaget-kagetnya. Pikiranku lagi mbelayang nggak karuan dan tiba-tiba bu Lina sudah duduk dekat sekali di samping ku. O..wa...lah...harumnya. Kakinya selonjor di sisi kaki ku. Terlihat seperti bendera, tapi yang satunya bukan merah tapi hitam. Tersipu aku menjawab, " Iya, bu, Lin". "Ngelamunin apaan, sih, mas Yot?", sambil matanya di arahkan ke wajahku. Aku bingung sambil berdoa. "Tabah, Yot! Tabahkan hati mu!". Terus terang aku jadi bingung sendiri dan salah tingkah nggak karuan. Baru kali ini aku begitu dekat dengan wanita secantik bu Lina. Aku sendiri bersyukur nggak ada produser sinetron yang melihatnya. O... kalau ada ditanggung dia pensiun muda dari profesi gurunya.
" Ah, saya lagi berpikir tentang berita di TV belakangan ini, bu Lin".
" Berita tentang apa, sih, mas Yot", dia mendesak ku.
" Berita tentang 2 orang wakil ketua KPK yang ditangkap polisi itu, bu Lin. Pak Slamet ma pak Candra". Ayo kita berteduh dulu, di sana. Ada pohon pisang, tuh", aku mengajaknya beristirahat.
Kami berdua berteduh dan ngomongin banyak hal, terutama menyangkut penangkapan 2 orang wakil ketua KPK tadi. Dalam hati aku sungguh-sungguh heran dengan semua yang terjadi dengan bangsaku tercinta ini. Kenapa, ya, mereka yang seharusnya jadi panutan justru nggak ada bedanya dengan anak-anak kecil yang suka berkelahi sendiri. Bagaimana korupsi bisa habis kalau sementara (menurut berita-berita TV), dua-duanya yang seharusnya punya tugas "menggantung para koruptor" akhirnya justru saling berkelahi karena masing-masing saling berebut gelar "pahlawan suci"yang tidak doyan korupsi. Atau mungkin bangsa ini memang sudah tercetak sebagai sebuah bangsa dengan "mental wedhus" yang dengan penuh sukacita dan kebanggaan saling mengadu kepalanya sendiri untuk memenangkan pertarungan. "Wedhus Dhugul" bapak ku menyebutnya. Kambing yang sangat "tolol" dan cuma bisa makan kemudian menghabiskan semua sisa eneginya yang "membeludak" hanya untuk bertarung supaya temanya mati berkalang rumput. Ya.. Setelah temanya mati dia sendirilah yang akan menghabiskan semua rumput yang ada. Rumput basah atau rumput kering tidak ada bedanya. Yang penting rumput! Enak dimakan, membuat perut kenyang. . O...bangsaku yang menyedihkan. Bangsa yang perlu "di apotas atau di themix" saja sekalian biar tumbuh rumput-rumput muda yang baru, segar dan bersih hatinya. Hanya rumput baru seperti itulah yang akan mengenyahkan bangsa ini keluar dari kebinasaan yang pelan-pelan merenggut. Aku tak bisa berpikir lagi. Dipikirpun tak ada gunanya. Ya mendingan mikir sawah atau mikir cari duit buat mengganti "pacul gerang" yang masih jadi andalanku untuk menyambung hidup.
Renungan pinggir kali...
Silahkan juga buka Tutorial lain yang sangat menarik dan patut di ikuti sampeyan semua. Akses melalui link di bawah ini :
Update » Jemuah KLIWON, January, 27, 2012
» Happy Blogging - gubhugreyot «
silahkan tulis sebuah komentar!
gubhug reyot